Jawapos Selasa, 10 Mei 2011 , 08:08:00
Lumpuh sejak Umur 4 Tahun, Risnawati Sukses Berjuang Wujudkan Mimpinya
Termotivasi setelah Diejek, Sudah Bagikan 1.500 kursi Roda Gratis
Termotivasi setelah Diejek, Sudah Bagikan 1.500 kursi Roda Gratis
Sejak berumur empat tahun, Risnawati Utami lumpuh. Menjadi seseorang dengan stigma cacat alias difabel (different ability) membuat dia malah bersemangat untuk berprestasi dan meraih impian-impiannya. Kini perempuan 38 tahun itu aktif menyalurkan kursi roda gratis untuk para penyandang difabel yang senasib dengannya. AINUR ROHMAH, Jogjakarta Foto: Risnawati (dua dari kiri, di atas kursi roda) beserta tim UCP di depan kantornya. Foto: UCP for Jawa Pos
DON"T allow anybody to make you feel that you"re nobody. Always feel that you count. Always feel that you have worth and always feel that your life has ultimate significance (Jangan biarkan orang lain membuatmu merasa tidak berguna. Merasalah bahwa kamu bisa diandalkan. Merasalah bahwa kamu punya keunggulan dan merasalah bahwa hidupmu memiliki arti besar, Red)."
Kalimat Martin Luther King Jr. itu sangat inspiratif bagi Risna, panggilan akrab Risnawati. Dia benar-benar termotivasi untuk membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk berkarya.
Saat ini Risna memimpin UCP (United Cerebral Palsy) Wheels for Humanity Indonesia yang berpusat di Jogja. Lembaga nonprofit itu merupakan satu-satunya penyalur kursi roda gratis untuk anak-anak difabel di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, sejak didirikan pada 2009, lebih dari 1.500 orang difabel di seluruh Indonesia telah dihadiahi kursi roda.
Apa yang dicapai Risna saat ini dilalui dengan tidak mudah. Dia menuturkan, ketidaksempurnaannyalah yang mendorongnya tetap berjuang demi kaum difabel. "Sebab, saya merasakan susahnya menjadi penyandang difabel," kata Risna ketika ditemui Jogja Raya (Jawa Pos Group) di kantornya, eks gedung registrasi UGM, Jalan Kaliurang km 4,5, Sumilir, Jogjakarta, kemarin (9/5).
Risna lantas menceritakan awal mula dirinya mengalami kelumpuhan. "Saat itu, 19 Juni 1976, saya demam tinggi hingga tidak sadarkan diri," ujar perempuan kelahiran Gunungkidul 38 tahun silam tersebut.
Lantas, orang tuanya membawa Risna ke RS Panti Rapih, Jogjakarta. Di sana, Risna diisolasi di sebuah kamar selama 40 hari tanpa seorang pun yang menungguinya. Ketika sadar, dia kebingungan karena tidak mampu menggerakkan badan.
Namun, ibu saya dengan cinta kasih mengirim (boneka) teddy bear dan boneka kecil lewat suster. Boneka-boneka itulah teman saya," ujar anak sulung di antara tiga bersaudara tersebut. Berdasar keterangan dokter, Risna terserang polio, penyakit yang waktu itu menjadi epidemi di Gunung Kidul. Dia harus diisolasi. Sebab, tutur Risna, dokter saat itu menyatakan bahwa polio dapat menular melalui bau lendir atau berak si penderita yang tercium anak lain.
Umur empat tahun, Risna mengalami kelumpuhan. Sejak itu orang tuanya rajin membawa Risna ke fisioterapis. Sedikit demi sedikit, Risna kecil dilatih duduk dan berjalan. Umur sepuluh tahun, dia mampu berjalan meski tetap memakai alat bantu seperti kruk. Fisioterapis yang disebut Risna bernama Bu Rais itu tidak hanya memancing saraf-saraf Risna supaya bekerja, tetapi juga memberikan "terapi" untuk orang tuanya. Terapi tersebut adalah kelapangan hati untuk menerima keadaan si anak apa adanya. Selain itu, orang tua Risna dimotivasi agar membantu si anak tetap bisa mengaktualisasikan diri.
Memang, menurut Risna, hal tersulit dari menjadi penyandang difabel adalah penolakan lingkungan. Di berbagai tempat, orang memandang dengan cemoohan atau rasa kasihan. Tidak sedikit pula yang menggunjingkan kondisi tersebut karena menganggapnya sebagai aib dan hukuman dari Tuhan. "Diskriminasi dan tekanan sosial itu menyedihkan," terang perempuan kelahiran 21 Maret 1973 itu.
Namun, berkat fisioterapis itulah, mata orang tua Risna terbuka. Mereka sadar bahwa memiliki anak cacat bukanlah aib. "Orang tua saya disarankan menyekolahkan saya di sekolah umum, bukan SLB (sekolah luar biasa, Red)," ujarnya.
Maka, Risna pun menuntut ilmu di sekolah umum. Bersanding dengan anak-anak normal yang bisa berjalan, berlari, dan melompat. "Saya selalu merasa normal. Meskipun, banyak anak yang mengejek saya sebagai orang aneh," tutur Risna, yang mengaku pernah memukul teman SD-nya karena marah setelah diejek.
Meski sering dihina, Risna bukanlah anak cengeng. Ejekan dan hinaan dari beberapa teman memotivasi dia untuk berprestasi. Upayanya berhasil dengan menjadi langganan juara kelas di sekolah, mulai SD hingga SMA.
Dia juga melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Risna diterima di Fakultas Hukum UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret), Surakarta. Dia pun lulus tepat waktu. Meski nilainya bagus, dia menganggur dua tahun. Melamar di mana-mana, dia ditolak. Alasannya jelas, keadaan fisik Risna yang tidak sempurna.
Bahkan, Risna menyatakan pernah ditolak ketika melamar menjadi dosen di almamaternya. "Saya ingat sekali, nama dosen itu Rahmadi," katanya dengan yakin. Menurut Risna, dosen tersebut sempat mengejeknya. "Apa iya, Anda bisa mengajar sampai lantai 2, 3, dan 4," kata Risna, menirukan ucapan dosen yang meremehkannya tersebut.
Ejekan itu ternyata malah memotivasi Risna untuk terus meraih impian-impiannya. Pada 2011, jalan untuk membuktikan impian-impian itu terbuka ketika Risna bergabung dengan Yayasan Talenta di Solo. Sesuai dengan semangat Risna, yayasan tersebut berfokus pada perjuangan hak-hak penyandang difabel. Pada tahun yang sama, dia mendapatkan kursi roda dari UCP Wheels for Humanity yang sedang berada di Jogja.
Sejak saat itu, Risna tidak kenal lelah untuk mengampanyekan hak-hak orang difabel. Caranya, bersuara melalui penelitian, advokasi kebijakan pemerintah, maupun pembicaraan di forum internasional. Selama enam tahun, dia bekerja sama dengan berbagai macam orang, baik penyandang difabel maupun yang normal. Beberapa negara pun pernah dia sambangi, seperti Australia, Vietnam, Filipina, Taiwan, dan Amerika Serikat.
Puncaknya, pada 2006 dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke jenjang S-2 di Brandeis University di Waltham, Amerika Serikat (AS). Mumpung berada di AS, Risna memanfaatkan liburan musim panasnya dengan magang di lembaga yang pernah memberinya kursi roda gratis, yaitu UCP Wheels for Humanity AS. Itu adalah lembaga yang mengembangkan program penyediaan kursi roda untuk lebih dari 66 negara di seluruh dunia. Dari sanalah, terbuka jalan lain untuk Risna.
UCP Wheels for Humanity AS didukung dana dari USAID menunjuk Risna untuk mendirikan UCP Wheels for Humanity Indonesia. Intinya, UCP Indonesia bertugas mengembangkan program pengadaan kursi roda di negeri ini melalui pelatihan dan pemberdayaan. "Mereka menunjuk saya sebagai manajer program," ucap Risna, yang sekarang tinggal di daerah Monjali, Jogjakarta.
Kini Risna pun membuktikan janji yang diucapkannya sepuluh tahun lalu bahwa dirinya akan go international. Dia adalah satu di antara sekian tokoh difabel dunia. Dia bicara di berbagai forum internasioanl tentang hak-hak penyandang difabel. Terakhir, dia bicara di konferensi internasional yang bertajuk International Forum Securing Human Right on Disabilities pada 16?19 April 2011 di Honolulu, AS.
Risnawati Utami prihatin. Sebab, menurut data WHO, jumlah anak yang menderita cacat alias difabel (different ability) di Indonesia 6,4 juta orang. Tapi, yang banyak membantu kursi roda gratis malah negara asing. Ini pun, kata Risnawati, masih dipersulit oleh rumitnya birokrasi.
KEPADA Jogja Raya (JPNN Group), Risna (panggilan akrab Risnawati) menunjukkan bunyi pasal 20 konvensi hak-hak difabel atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Bunyi pasal itu: ”Setiap anak-anak difabel mempunyai hak dan kebebasan untuk bermobilitas secara mandiri. Pemerintah berkewajiban menciptakan lingkungan yang mendukung, serta menyediakan alat-alat bantu yang memung-kinkan difabel untuk dapat melakukannya.”
Kata Risna, pemerintah RI ikut meneken konvensi itu pada 2007. ”Tapi, sampai saat ini belum diratifikasi,” kata perempuan 38 tahun itu di kantornya di eks gedung registrasi UGM, Jl Kaliurang Km 4,5 Sumilir, Jogjakarta, Senin lalu (9/5).
Padahal, lanjut dia, menurut data WHO pada 2010, terdapat 6,4 juta anak difabel di Indonesia. Namun, hanya 50 ribu yang bisa bersekolah. Sembari menunggu ratifikasi yang entah kapan terealisasi, Risna lantas mendirikan UCP Wheels for Humanity (UCPWFH) di Indonesia pada 2009. Singkatnya, UCPWFH Indonesia adalah bagian dari struktur organisasi UCPWFH, organisasi nonprofit di Amerika Serikat yang menangani distribusi, penyediaan, dan pelayanan kursi roda individu secara khusus di seluruh dunia.
Sejak berdiri pada 1996, lembaga itu sudah mendistribusikan lebih dari 50.000 kursi roda di 69 negara. Meski memiliki misi sosial, Risna sempat kesulitan mendirikan UCPWFH Indonesia Rintangan bukan datang dari organisasi internasional yang akan menjadi donaturnya, tapi lebih kepada budaya dan birokrasi di Indonesia. ”Aneh, ya, negeri kita. Yang memberikan kursi roda untuk anak Indonesia malah orang asing,” kata Risna.
Dia lantas menceritakan ihwal berdirinya lembaga yang dipimpinnya itu. Pada 2008, Risna yang baru lulus S-2 dari Brandeis University di Waltham, AS, pulang ke Indonesia dan melakukan penelitian di daerah asalnya, Gunung Kidul, Jogja.
Dari 50 kasus difabel yang dia teliti, hampir setengahnya disebabkan kesehatan reproduksi si ibu yang buruk. ”Bahkan, ada keluarga yang tiga anaknya lumpuh semua,” katanya. Kenyataan lain yang menyedihkan adalah budaya masyarakat yang menganggap difabel sebagai aib. Orang tua kadang masih ”menyembunyikan” anaknya yang difabel.
Terkadang masyarakat juga masih memandang sebelah mata bahwa difabel tidak bisa apa-apa. ”Apa dosa difabel?” keluh Risna. Apalagi, kebijakan pemerintah yang belum berpihak kepada difabel. ”Sampai saat ini konvensi hak difabel belum diratifikasi pemerintah,” tambah aktivis yang memiliki jaringan advokasi hak-hak difabel di seluruh negara berkembang itu.
Dari penelitian itulah, disusun proposal yang selanjutnya diajukan kepada UCPWFH di AS agar membuka cabang di Indonesia. Bersama David Richard, presiden UCP Internasional, Risna memformulasikan program UCP Indonesia dan mencari gedung untuk berkantor. Pilihan jatuh ke eks gedung registrasi UGM, Jalan Kaliurang Km 4,5, Sumilir, Jogjakarta. UCP lebih memprioritaskan bantuan kepada anak-anak yang tidak mampu.
Dipilih anak-anak karena merekalah yang paling memerlukan. ”Masa depan mereka masih panjang,” tegas Risna. Dengan memakai kursi roda, anak-anak itu lebih leluasa bergerak. ”Bisa bermain, sekolah, dan tumbuh layaknya anak normal,” tambah wanita berjilbab itu.
Adapun umur anak yang bisa dibantu antara 3–18 tahun. Meski sudah berdiri, rintangan lain muncul. Ketika kali pertama mendatangkan kursi roda dari Amerika, kontainer UCP Indonesia sempat ditahan di pelabuhan. ”Agar bisa bebas, saya harus nembusi (meneruskan) ke empat kementerian,” ujar Risna.
Empat kementerian itu adalah kementerian perdagangan, keuangan, sosial, dan kesehatan. Berbekal keberanian, Risna datang sendirian ke Jakarta. Menggunakan kruk, setiap hari dia mendatangi kementerian yang bersangkutan. Yang paling sulit, Risna harus mendapat tanda tangan Sri Mulyani, menteri keuangan saat itu. ”Saya menunggu Bu Sri Mulyani seharian,” kenang Risna.
Sayang, dia tidak pernah bertemu wanita ”penting” itu. Setelah hampir putus asa, jalan datang dari ”orang kepercayaan” Sri Mulyani yang memintakan tanda tangan si ibu menteri. ”Akhirnya dapat surat sakti dari Bu Sri Mulyani,” ucap lulusan UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret) itu.
Risna tidak habis pikir, mengapa harus izin sana-sini untuk mengambil barang yang jelas-jelas charity (sumbangan). Menurut dia, kegiatan sosial seharusnya didukung, bukan dipersulit. Toh, kursi roda itu bukan barang dagangan. Kini UCP yang berbasis di Jogja itu masih menjadi satu-satunya penyalur kursi roda untuk anak difabel di Indonesia.
Semua kursi roda itu bantuan dari UCP Internasional bekerja sama dengan USAID yang juga lembaga donor AS untuk Indonesia. Sejak didirikan, UCP Indonesia sudah menyalurkan 1.500 kursi roda ke seluruh Nusantara. Mereka yang dibantu kebanyakan penderita cerebral palsy (sakit panas tinggi yang menyerang saraf), anak kurang gizi, dan incest (anak hasil perkawinan sedarah). Ada pula penerima yang masih produktif, namun cacat karena gempa bumi. Karena akan digunakan anak-anak ”istimewa”, kursi roda itu pun didesain istimewa. Desainnya tidak seperti yang sering terlihat di rumah sakit.
Kursi roda itu berdasar kebutuhan si difabel. Misalnya, ketika anak difabel memiliki kaki bengkok, kursi roda akan didesain sedemikian rupa agar kaki anak itu normal kembali. Selain itu, agar nyaman, kursi roda didesain sesuai dengan tinggi si anak.
Karena itu, sebelum kursi roda dibuat, orang tua atau yang mewakilkan harus mendaftarkannya dahulu. Caranya dengan mengajuan surat permohonan, biodata si anak, foto seluruh badan, dan kartu keluarga. Setelah itu dilakukan pengukuran. ”Syarat mendapatkan kursi cuma satu, orang tua harus mengisi membership fee,” tutur Risna. Membership fee adalah dana yang dibayarkan orang tua setiap anaknya berganti kursi roda baru. Biasanya 3-4 tahun sekali. Besarnya bergantung pada penghasilan orang tua.
Jika mereka berpenghasilan Rp 500 ribu per bulan, membership fee yang harus dibayarkan Rp 15 ribu. Kalau gajinya lebih besar dari itu, membership fee pun akan naik. ”Itu kami berlakukan agar mereka tidak terbiasa mendapat segala sesuatu dengan gratis,” terang Risna. Selain itu, orang tua secara berkala wajib melaporkan keadaan anaknya kepada UCP.
Hal itu untuk memonitor kesehatan si anak sendiri. Saat ini, selain pemberian pelayanan, UCP Indonesia pun gencar melakukan advokasi kepada pemerintah agar secepatnya meratifikasi konvensi hak difabel. Gerakan yang dimulai pada 11 Januari 2011 itu bernama Konsorsium Hak Difabel.
Dimotori Risna, konsorsium itu akan memformulasikan rekomendasi kepada pemerintah dalam upaya pemenuhan hak difabel. Bahkan, Risna mengaku ingin bertemu kepala negara, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk membicarakan nasib difabel. (*)