Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Jumat, 13 Mei 2011

Lumpuh sejak Umur 4 Tahun, Risnawati Sukses Berjuang Wujudkan Mimpinya

Jawapos Selasa, 10 Mei 2011 , 08:08:00
Lumpuh sejak Umur 4 Tahun, Risnawati Sukses Berjuang Wujudkan Mimpinya
Termotivasi setelah Diejek, Sudah Bagikan 1.500 kursi Roda Gratis


Sejak berumur empat tahun, Risnawati Utami lumpuh. Menjadi seseorang dengan stigma cacat alias difabel (different ability) membuat dia malah bersemangat untuk berprestasi dan meraih impian-impiannya. Kini perempuan 38 tahun itu aktif menyalurkan kursi roda gratis untuk para penyandang difabel yang senasib dengannya. AINUR ROHMAH, Jogjakarta Foto: Risnawati (dua dari kiri, di atas kursi roda) beserta tim UCP di depan kantornya. Foto: UCP for Jawa Pos

DON"T allow anybody to make you feel that you"re nobody. Always feel that you count. Always feel that you have worth and always feel that your life has ultimate significance (Jangan biarkan orang lain membuatmu merasa tidak berguna. Merasalah bahwa kamu bisa diandalkan. Merasalah bahwa kamu punya keunggulan dan merasalah bahwa hidupmu memiliki arti besar, Red)."

Kalimat Martin Luther King Jr. itu sangat inspiratif bagi Risna, panggilan akrab Risnawati. Dia benar-benar termotivasi untuk membuktikan bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk berkarya.

Saat ini Risna memimpin UCP (United Cerebral Palsy) Wheels for Humanity Indonesia yang berpusat di Jogja. Lembaga nonprofit itu merupakan satu-satunya penyalur kursi roda gratis untuk anak-anak difabel di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, sejak didirikan pada 2009, lebih dari 1.500 orang difabel di seluruh Indonesia telah dihadiahi kursi roda.

Apa yang dicapai Risna saat ini dilalui dengan tidak mudah. Dia menuturkan, ketidaksempurnaannyalah yang mendorongnya tetap berjuang demi kaum difabel. "Sebab, saya merasakan susahnya menjadi penyandang difabel," kata Risna ketika ditemui Jogja Raya (Jawa Pos Group) di kantornya, eks gedung registrasi UGM, Jalan Kaliurang km 4,5, Sumilir, Jogjakarta, kemarin (9/5).

Risna lantas menceritakan awal mula dirinya mengalami kelumpuhan. "Saat itu, 19 Juni 1976, saya demam tinggi hingga tidak sadarkan diri," ujar perempuan kelahiran Gunungkidul 38 tahun silam tersebut.

Lantas, orang tuanya membawa Risna ke RS Panti Rapih, Jogjakarta. Di sana, Risna diisolasi di sebuah kamar selama 40 hari tanpa seorang pun yang menungguinya. Ketika sadar, dia kebingungan karena tidak mampu menggerakkan badan.

Namun, ibu saya dengan cinta kasih mengirim (boneka) teddy bear dan boneka kecil lewat suster. Boneka-boneka itulah teman saya," ujar anak sulung di antara tiga bersaudara tersebut. Berdasar keterangan dokter, Risna terserang polio, penyakit yang waktu itu menjadi epidemi di Gunung Kidul. Dia harus diisolasi. Sebab, tutur Risna, dokter saat itu menyatakan bahwa polio dapat menular melalui bau lendir atau berak si penderita yang tercium anak lain.

Umur empat tahun, Risna mengalami kelumpuhan. Sejak itu orang tuanya rajin membawa Risna ke fisioterapis. Sedikit demi sedikit, Risna kecil dilatih duduk dan berjalan. Umur sepuluh tahun, dia mampu berjalan meski tetap memakai alat bantu seperti kruk. Fisioterapis yang disebut Risna bernama Bu Rais itu tidak hanya memancing saraf-saraf Risna supaya bekerja, tetapi juga memberikan "terapi" untuk orang tuanya. Terapi tersebut adalah kelapangan hati untuk menerima keadaan si anak apa adanya. Selain itu, orang tua Risna dimotivasi agar membantu si anak tetap bisa mengaktualisasikan diri.

Memang, menurut Risna, hal tersulit dari menjadi penyandang difabel adalah penolakan lingkungan. Di berbagai tempat, orang memandang dengan cemoohan atau rasa kasihan. Tidak sedikit pula yang menggunjingkan kondisi tersebut karena menganggapnya sebagai aib dan hukuman dari Tuhan. "Diskriminasi dan tekanan sosial itu menyedihkan," terang perempuan kelahiran 21 Maret 1973 itu.

Namun, berkat fisioterapis itulah, mata orang tua Risna terbuka. Mereka sadar bahwa memiliki anak cacat bukanlah aib. "Orang tua saya disarankan menyekolahkan saya di sekolah umum, bukan SLB (sekolah luar biasa, Red)," ujarnya.

Maka, Risna pun menuntut ilmu di sekolah umum. Bersanding dengan anak-anak normal yang bisa berjalan, berlari, dan melompat. "Saya selalu merasa normal. Meskipun, banyak anak yang mengejek saya sebagai orang aneh," tutur Risna, yang mengaku pernah memukul teman SD-nya karena marah setelah diejek.

Meski sering dihina, Risna bukanlah anak cengeng. Ejekan dan hinaan dari beberapa teman memotivasi dia untuk berprestasi. Upayanya berhasil dengan menjadi langganan juara kelas di sekolah, mulai SD hingga SMA.

Dia juga melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Risna diterima di Fakultas Hukum UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret), Surakarta. Dia pun lulus tepat waktu. Meski nilainya bagus, dia menganggur dua tahun. Melamar di mana-mana, dia ditolak. Alasannya jelas, keadaan fisik Risna yang tidak sempurna.

Bahkan, Risna menyatakan pernah ditolak ketika melamar menjadi dosen di almamaternya. "Saya ingat sekali, nama dosen itu Rahmadi," katanya dengan yakin. Menurut Risna, dosen tersebut sempat mengejeknya. "Apa iya, Anda bisa mengajar sampai lantai 2, 3, dan 4," kata Risna, menirukan ucapan dosen yang meremehkannya tersebut.

Ejekan itu ternyata malah memotivasi Risna untuk terus meraih impian-impiannya. Pada 2011, jalan untuk membuktikan impian-impian itu terbuka ketika Risna bergabung dengan Yayasan Talenta di Solo. Sesuai dengan semangat Risna, yayasan tersebut berfokus pada perjuangan hak-hak penyandang difabel. Pada tahun yang sama, dia mendapatkan kursi roda dari UCP Wheels for Humanity yang sedang berada di Jogja.

Sejak saat itu, Risna tidak kenal lelah untuk mengampanyekan hak-hak orang difabel. Caranya, bersuara melalui penelitian, advokasi kebijakan pemerintah, maupun pembicaraan di forum internasional. Selama enam tahun, dia bekerja sama dengan berbagai macam orang, baik penyandang difabel maupun yang normal. Beberapa negara pun pernah dia sambangi, seperti Australia, Vietnam, Filipina, Taiwan, dan Amerika Serikat.

Puncaknya, pada 2006 dia berhasil mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikan ke jenjang S-2 di Brandeis University di Waltham, Amerika Serikat (AS). Mumpung berada di AS, Risna memanfaatkan liburan musim panasnya dengan magang di lembaga yang pernah memberinya kursi roda gratis, yaitu UCP Wheels for Humanity AS. Itu adalah lembaga yang mengembangkan program penyediaan kursi roda untuk lebih dari 66 negara di seluruh dunia. Dari sanalah, terbuka jalan lain untuk Risna.

UCP Wheels for Humanity AS didukung dana dari USAID menunjuk Risna untuk mendirikan UCP Wheels for Humanity Indonesia. Intinya, UCP Indonesia bertugas mengembangkan program pengadaan kursi roda di negeri ini melalui pelatihan dan pemberdayaan. "Mereka menunjuk saya sebagai manajer program," ucap Risna, yang sekarang tinggal di daerah Monjali, Jogjakarta.

Kini Risna pun membuktikan janji yang diucapkannya sepuluh tahun lalu bahwa dirinya akan go international. Dia adalah satu di antara sekian tokoh difabel dunia. Dia bicara di berbagai forum internasioanl tentang hak-hak penyandang difabel. Terakhir, dia bicara di konferensi internasional yang bertajuk International Forum Securing Human Right on Disabilities pada 16?19 April 2011 di Honolulu, AS. 

Rela Nongkrongin Seharian di Kantor Menkeu

Risnawati Utami prihatin. Sebab, menurut data WHO, jumlah anak yang menderita cacat alias difabel (different ability) di Indonesia 6,4 juta orang. Tapi, yang banyak membantu kursi roda gratis malah negara asing. Ini pun, kata Risnawati, masih dipersulit oleh rumitnya birokrasi.


KEPADA Jogja Raya (JPNN Group), Risna (panggilan akrab Risnawati) menunjukkan bunyi pasal 20 konvensi hak-hak difabel atau Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Bunyi pasal itu: ”Setiap anak-anak difabel mempunyai hak dan kebebasan untuk bermobilitas secara mandiri. Pemerintah berkewajiban menciptakan lingkungan yang mendukung, serta menyediakan alat-alat bantu yang memung-kinkan difabel untuk dapat melakukannya.”

Kata Risna, pemerintah RI ikut meneken konvensi itu pada 2007. ”Tapi, sampai saat ini belum diratifikasi,” kata perempuan 38 tahun itu di kantornya di eks gedung registrasi UGM, Jl Kaliurang Km 4,5 Sumilir, Jogjakarta, Senin lalu (9/5).


Padahal, lanjut dia, menurut data WHO pada 2010, terdapat 6,4 juta anak difabel di Indonesia. Namun, hanya 50 ribu yang bisa bersekolah. Sembari menunggu ratifikasi yang entah kapan terealisasi, Risna lantas mendirikan UCP Wheels for Humanity (UCPWFH) di Indonesia pada 2009. Singkatnya, UCPWFH Indonesia adalah bagian dari struktur organisasi UCPWFH, organisasi nonprofit di Amerika Serikat yang menangani distribusi, penyediaan, dan pelayanan kursi roda individu secara khusus di seluruh dunia.


Sejak berdiri pada 1996, lembaga itu sudah mendistribusikan lebih dari 50.000 kursi roda di 69 negara. Meski memiliki misi sosial, Risna sempat kesulitan mendirikan UCPWFH Indonesia Rintangan bukan datang dari organisasi internasional yang akan menjadi donaturnya, tapi lebih kepada budaya dan birokrasi di Indonesia. ”Aneh, ya, negeri kita. Yang memberikan kursi roda untuk anak Indonesia malah orang asing,” kata Risna.


Dia lantas menceritakan ihwal berdirinya lembaga yang dipimpinnya itu. Pada 2008, Risna yang baru lulus S-2 dari Brandeis University di Waltham, AS, pulang ke Indonesia dan melakukan penelitian di daerah asalnya, Gunung Kidul, Jogja.


Dari 50 kasus difabel yang dia teliti, hampir setengahnya disebabkan kesehatan reproduksi si ibu yang buruk. ”Bahkan, ada keluarga yang tiga anaknya lumpuh semua,” katanya. Kenyataan lain yang menyedihkan adalah budaya masyarakat yang menganggap difabel sebagai aib. Orang tua kadang masih ”menyembunyikan” anaknya yang difabel.

Terkadang masyarakat juga masih memandang sebelah mata bahwa difabel tidak bisa apa-apa. ”Apa dosa difabel?” keluh Risna. Apalagi, kebijakan pemerintah yang belum berpihak kepada difabel. ”Sampai saat ini konvensi hak difabel belum diratifikasi pemerintah,” tambah aktivis yang memiliki jaringan advokasi hak-hak difabel di seluruh negara berkembang itu.

Dari penelitian itulah, disusun proposal yang selanjutnya diajukan kepada UCPWFH di AS agar membuka cabang di Indonesia. Bersama David Richard, presiden UCP Internasional, Risna memformulasikan program UCP Indonesia dan mencari gedung untuk berkantor. Pilihan jatuh ke eks gedung registrasi UGM, Jalan Kaliurang Km 4,5, Sumilir, Jogjakarta. UCP lebih memprioritaskan bantuan kepada anak-anak yang tidak mampu.


Dipilih anak-anak karena merekalah yang paling memerlukan. ”Masa depan mereka masih panjang,” tegas Risna. Dengan memakai kursi roda, anak-anak itu lebih leluasa bergerak. ”Bisa bermain, sekolah, dan tumbuh layaknya anak normal,” tambah wanita berjilbab itu.


Adapun umur anak yang bisa dibantu antara 3–18 tahun. Meski sudah berdiri, rintangan lain muncul. Ketika kali pertama mendatangkan kursi roda dari Amerika, kontainer UCP Indonesia sempat ditahan di pelabuhan. ”Agar bisa bebas, saya harus nembusi (meneruskan) ke empat kementerian,” ujar Risna.


Empat kementerian itu adalah kementerian perdagangan, keuangan, sosial, dan kesehatan. Berbekal keberanian, Risna datang sendirian ke Jakarta. Menggunakan kruk, setiap hari dia mendatangi kementerian yang bersangkutan. Yang paling sulit, Risna harus mendapat tanda tangan Sri Mulyani, menteri keuangan saat itu. ”Saya menunggu Bu Sri Mulyani seharian,” kenang Risna.


Sayang, dia tidak pernah bertemu wanita ”penting” itu. Setelah hampir putus asa, jalan datang dari ”orang kepercayaan” Sri Mulyani yang memintakan tanda tangan si ibu menteri. ”Akhirnya dapat surat sakti dari Bu Sri Mulyani,” ucap lulusan UNS (Universitas Negeri Sebelas Maret) itu.


Risna tidak habis pikir, mengapa harus izin sana-sini untuk mengambil barang yang jelas-jelas charity (sumbangan). Menurut dia, kegiatan sosial seharusnya didukung, bukan dipersulit. Toh, kursi roda itu bukan barang dagangan. Kini UCP yang berbasis di Jogja itu masih menjadi satu-satunya penyalur kursi roda untuk anak difabel di Indonesia.


Semua kursi roda itu bantuan dari UCP Internasional bekerja sama dengan USAID yang juga lembaga donor AS untuk Indonesia. Sejak didirikan, UCP Indonesia sudah menyalurkan 1.500 kursi roda ke seluruh Nusantara. Mereka yang dibantu kebanyakan penderita cerebral palsy (sakit panas tinggi yang menyerang saraf), anak kurang gizi, dan incest (anak hasil perkawinan sedarah). Ada pula penerima yang masih produktif, namun cacat karena gempa bumi. Karena akan digunakan anak-anak ”istimewa”, kursi roda itu pun didesain istimewa. Desainnya tidak seperti yang sering terlihat di rumah sakit.


Kursi roda itu berdasar kebutuhan si difabel. Misalnya, ketika anak difabel memiliki kaki bengkok, kursi roda akan didesain sedemikian rupa agar kaki anak itu normal kembali. Selain itu, agar nyaman, kursi roda didesain sesuai dengan tinggi si anak.


Karena itu, sebelum kursi roda dibuat, orang tua atau yang mewakilkan harus mendaftarkannya dahulu. Caranya dengan mengajuan surat permohonan, biodata si anak, foto seluruh badan, dan kartu keluarga. Setelah itu dilakukan pengukuran. ”Syarat mendapatkan kursi cuma satu, orang tua harus mengisi membership fee,” tutur Risna. Membership fee adalah dana yang dibayarkan orang tua setiap anaknya berganti kursi roda baru. Biasanya 3-4 tahun sekali. Besarnya bergantung pada penghasilan orang tua.


Jika mereka berpenghasilan Rp 500 ribu per bulan, membership fee yang harus dibayarkan Rp 15 ribu. Kalau gajinya lebih besar dari itu, membership fee pun akan naik. ”Itu kami berlakukan agar mereka tidak terbiasa mendapat segala sesuatu dengan gratis,” terang Risna. Selain itu, orang tua secara berkala wajib melaporkan keadaan anaknya kepada UCP.


Hal itu untuk memonitor kesehatan si anak sendiri. Saat ini, selain pemberian pelayanan, UCP Indonesia pun gencar melakukan advokasi kepada pemerintah agar secepatnya meratifikasi konvensi hak difabel. Gerakan yang dimulai pada 11 Januari 2011 itu bernama Konsorsium Hak Difabel.


Dimotori Risna, konsorsium itu akan memformulasikan rekomendasi kepada pemerintah dalam upaya pemenuhan hak difabel. Bahkan, Risna mengaku ingin bertemu kepala negara, Susilo Bambang Yudhoyono, untuk membicarakan nasib difabel. (*)

Selasa, 19 April 2011

Meneladani Semangat Hidup Jamaludin: Meski Lumpuh, Tekuni Kaligrafi Gedebok


TEGAR - Dengan keterbatasan fisik karena kelumpuhan, Jamal (45), kreatif dalam membuat karya seni dari pelepah pisang, Senin (11/4). Foto: surya/ahmad zaimul haq
Tidak ada kata menyerah pada diri Jamaludin (40) warga Simokerto I, dengan kondisi tubuhnya yang lumpuh karena kecelakaan kerja, pria satu putri ini tidak mau berdiam diri, ia bangkit dengan membuat lukisan dan kaligrafi yang berbahan gedebok (pelepah pohon pisang) yang sudah mengering.

Wiwit Purwanto
Surabaya 
http://www.surya.co.id
English Langguage

Di petak rumah kontrakannya yang kecil itu, pria asli Probolinggo ini masih mengumbar senyum.Sejumlah pigura berbagai ukuran lengkap dengan karya lukisan gedebok pisang itu tampak tergantung di tembok rumahnya. “Saya hanya ingin berkarya dan semoga lukisan ini laku,” kata Jamal di atas tempat tidur.

Sudah tiga tahun ini Jamal berdiam diri di rumah yang hanya cukup diisi ranjang tidur ukuran 100 x 140, ia tidak bisa melakukan aktivitas setelah tulang belakangnya dinyatakan oleh dokter tidak berfungsi alias lumpuh.

“Saya menolong teman saya yang akan tertimpa pintu besi, tapi saya sendiri akhirnya yang kena dan sampai sekarang seperti ini,” kenangnya.

Ia tidak menyesal, berbagai upaya untuk mengembalikan kondisi tubuhnya seperti melakukan fisioterapi sudah dilakukan, namun hingga detik ini kondisi tubuhnya masih sulit untuk diajak beraktifitas. Ide membuat karya lalu muncul, di tengah kejenuhan berada di kamar kontrakan itu membuat tangan-tangan Jamaludin mulai bergerak.

Saya ingin berbuat sesuatu yang manghasilkan,” ujar Jamal yang sekarang berdiam diri di rumah sementara istrinya yang ganti bekerja. Saat pulang ke Probolinggo Jamal melihat banyak pelepah pohon pisang yang dibuang begitu saja. Dengan menggunakan kursi roda, satu persatu gedebok itu diambil dan dikumpulkan.

Setelah dikeringkan, gedebok itu dibawanya ke Surabaya. “Saya mulai merangkai gedebok itu di kamar ini, sambil tiduran saya merangkainya,” tuturnya. Sebuah lukisan Pantai Pasir Putih Probolinggo dan sejumlah kaligrafi sudah dihasilkan. “Semuanya ini dari gedebok,” jelasnya.

Untuk membedakan langit, air laut, dan pepohonan pada lukisannya Jamal tinggal membolak balikkan gedebok. “Kalau ingin terang, ini dibalik saja, kalau yang gelap ini berarti gedebok bagian luar,” terangnya.

Dari bantuan teman-temannya, Jamal yang sebelumnya juga beraktifitas sebagai MC dan guru ngaji di Kampung Siwalan I ini mampu mengikuti sejumlah pameran bahkan sampai ke Lampung. “Lukisan saya ini kerap dibawa ke ajang pameran,” tambahnya.
Satu lukisan menurutnya bisa selesai dikerjakan dalam waktu satu hari, tapi karena keterbatasan tempat dan kondisi tubuhnya seringkali ia harus menunda dulu aktivitasnya.  Untuk satu lukisan yang sudah jadi dan siap dipasang, harga lukisan Jamal berkisar antara Rp 60.000 hingga Rp 600.000.

Dalam satu kesempatan belum lama ini karya Jamal ini dikenalkan di Kantor Kelurahan Simokerto, ternyata sambutan warga cukup baik. “Bagus sekali karya dari Pak Jamaludin ini, ia masih bisa berkarya denga kondisi tubuh yang terbatas,” kata Lurah Simokerto Tutik Nurhayati.



Emulate the spirit of Life Jamaludin: Although Paralyzed, deepened Calligraphy Gedebok. No word surrender Jamaludin (40) residents Simokerto I, with the condition that paralyzed his body of work accident, one man's daughter would not keep silence, he rose to make paintings and calligraphy made gedebok (banana stem),which has dried up

Wiwit Purwanto - Surabaya
http://www.surya.co.id


In a small plot of rented houses, the original men's indulgence in Probolinggo is still smiling. A number of frames of various sizes complete with banana gedebok paintings that seemed to hang on the wall of her house.

"I just want to work and hopefully this painting sold," said Jamal on the bed. It is three years Jamal sitting at home who just simply filled bed size bed 100 x 140, he can not do the activity after spinal cord expressed by doctors not working aka paralyzed.

"I helped my friend who will be crushed by an iron door, but eventually that got my own and to this day like this," he recalls. He has no regrets, efforts to restore the body as do physiotherapists have done, but until this moment his condition is still difficult to be invited to activities.

The idea of ​​making work and then came, amid saturation in the rented room that makes Jamaludin hands began to move. "I want to do something," said Jamal who is now sitting at home while his wife is changing work.

When I got home to Probolinggo Jamal saw many banana stem thrown away. By using a wheelchair, one by one gedebok was retrieved and collected. After drying, gedebok was brought to Surabaya. "I started stringing gedebok it in this room, while sleeping I create," he said.

A painting of Probolinggo White Sand Beach and a number of calligraphy has been produced. "All this from gedebok," he explained. To distinguish between sky, sea water, and trees in his paintings live flip flip gedebok Jamal.

"If you want light, it reversed course, if this dark means gedebok the outside," he explained. From the help of his friends, who had previously Jamal activity as MC and teacher of the Qur'an in Kampung Siwalan I was able to follow a number of exhibitions even to Lampung.

"My paintings are often taken to an exhibition venue," he added. One painting he thought could be completed within one day, but because of limited space and the condition of her often he had to postpone the first activity.

For one painting that is finished and ready to be installed, painting Jamal price ranges from Rp 60,000 to Rp 600,000. In one occasion recently it introduced Jamal works at Village Office Simokerto residents turned out pretty good reception.

"Excellent work from Mr. Jamaludin this, he could still work premises limited body condition," said Tuti  Nurhayati Chief Village Simokerto

Minggu, 20 Maret 2011

Muhammad Amanatullah, Smart Students Without Hands with Half Leg

Muhammad Amanatullah,
Siswa Cerdas Tanpa Tangan dengan Separo Kaki
“Saya Tak Ingin dengan Kondisi Ini Tidak Bisa Berbuat Apa-apa”
Minggu, 20 Maret 2011


Suasana gembira yang diekspresikan ratusan siswa dan mahasiswa penerima Basiswa PT Semen Gresik di Hall Grand City Surabaya, Sabtu (19/3), mendadak terhenti. Mereka dikejutkan dengan kehadiran Muhammad Amanatullah, siswa buntung tanpa tangan dengan separo kaki di depan panggung.
Faiq Nuraini - surabaya

Siswa itu terus didorong dengan sepeda roda tiga. Perlahan, laju sepeda mini ini terhenti persis di tengah hadirin. Sorot lampu semakin mengarahkan pandangan para hadirin ini tertuju pada siswa buntung tersebut. Dalam sorotan lampu, Aam, panggilan akrab Amanatullah, malah semakin percaya diri.

Ratusan hadirin termasuk Mendiknas Muhammad Nuh, Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto, para rektor dari 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia, dan para pejabat yang hadir, terharu melihat pemandangan itu.

Bukan tepuk tangan atau teriakan kegembiraan yang muncul saat siswa kelas dua SMA Gresik itu dinyatakan sebagai penerima Beasiswa S1 Semen Gresik. Melainkan rasa haru dan tetesan air mata melihat kondisi Aam yang terus duduk di atas sepeda mini.

Siswa ini hanya bisa bergerak dengan tetap berada di atas sepeda mini buatan ayahnya sendiri. Satu kaki kanannya dijejakkan perlahan agar tubuh tanpa tangan itu bisa maju atau mundur.

“Nama saya Amanatullah. Saya sejak kelas lima SD sudah tidak lagi sekolah di SLB,” ucapnya sambil terus tersenyum.

Aam bercerita, dirinya buntung sejak lahir. Namun berkat perjuangan tak kenal lelah dan terus berusaha, siswa ini memiliki kecerdasan akademis seperti halnya siswa normal.

“Karena saya tak punya tangan, saya menulis dengan kaki. Saya juga bisa melukis dan menjuarai lomba lukis tingkat daerah. Padahal peserta lomba lukis adalah orang normal. Alhamdulillah, karena ini pula saya diundang Pak Kapolri untuk melukis,” kata Aam yang jago melukis apa saja ini.

Dalam situasi itu, semua hadirin hanya bisa terdiam dan terpaku. Beberapa di antara mereka meneteskan air mata. “Meski terlahir dengan keterbatasannya, sebenarnya inilah kelebihan Aam. Dengan tanpa tangan begini, prestasi bisa melebihi siswa normal. Dua tahun duduk di bangku SMA umum masuk 10 besar,” urai Jaiyaroh, guru yang sejak SD mendampingi Aam.

M Nuh yang lebih dari 15 menit duduk kaku karena haru langsung berdiri, berdialog dengan Aam. Mantan rektor ITS ini pun dengan hangat dan penuh perhatian menanyakan cita-cita Aam. “Cita-cita kamu ingin jadi apa nanti,” tanya Mendiknas.

Mendengar pertanyaan ini, Aam yang lahir, 4 Mei 1993 itu menjawab, “Saya ingin sekolah tinggi dan menjadi ahli desain. Saya ingin punya komputer yang canggih untuk mewujudkan impian ini,” ucapnya mantap.

Jawaban ini belum juga mengembalikan suasana Hall Grand City menjadi seperti semula. Sebaliknya, keharuan masih mendominasi. Apalagi M Nuh langsung memahami keinginan Aam. “Silakan nanti teman-teman saya yang akan memproses komputer itu. Dicatat alamat lengkapnya yang benar. Kita akan perhatikan,” kata Nuh.

Baru setelah jawaban inilah, suasana gembira dan penuh tawa pecah kembali. Ratusan teman-teman mereka bisa bertepuk tangan panjang.

Oleh PT Semen Gresik, Aam akan dibiayai pendidikannya hingga kuliah. Dia juga dimasukkan ke sanggar lukis.

Saat ditemui Surya usai penyerahan beasiswa tersebut, Aam memang tampak sosok pekerja keras. Meski harus menyeret satu kaki kanannya dan membiarkan kaki separonya menggantung di atas sepeda mini, tidak tampak kelelahan dalam diri Aam. Peluh yang mulai menetes sama sekali tak dihiraukan.

“Beginilah Mas. Saya sudah sejak kecil memang seperti ini. Tetapi saya tidak ingin dengan kondisi ini saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya yakin, ini yang terbaik buat saya dan keluarga,” tandas Aan yang kali ini ditemani ibunya.

Siswa asal Jl Kartini Gang 16 nomor 21 ini memang kurang beruntung. Anak keenam dari enam bersaudara pasangan Aliantoro dan Nasifah ini tidak seperti kakak-kakaknya. “Hanya Aam yang terlahir cacat. Kakaknya semua normal. Kami tetap tulus dan sabar mengasuhnya,” ucap Nafisah.

Namun keluarga ini seakan dipaksa menjalani ujian yang di luar kemampuannya. Aliantoro hanya menggantungkan pekerjaannya sebagai sopir panggilan. Nasifah sendiri hanya ibu rumah tangga. Sementara mereka harus membesarkan enam anaknya.

Saat usia sekolah, orangtua nya sempat bingung bagaimana harus menyekolahkan sang anak. Akhirnya, Aam pun masuk SDLB Kemala Bhayangkari Gresik.

Di sinilah Siti Jaiyaroh dengan tekun membimbingnya hingga nyaris seperti normal. Dia bisa menulis dengan rapi. Aam pun pindah ke SD normal saat kelas lima.

“Tetapi kalau sekolah harus membawa meja kursi sendiri. Meja kursi ini didesain sejajar antara kursi dan meja. Sebab, Aam nulisnya dengan kaki,” jelas Jaiyaroh.

Tulisan Aam bahkan tampak lebih rapi dan terstruktur dengan baik. Untuk membuktikan kemampuan menulis inilah, dia rela turun dari sepeda mininya. Berjalan sepergi ngesot ke lantai, Aam pun meraih bolpoin dan menulisnya namanya sendiri di note book Surya. Bagus, tulisannya sangat bagus.

Setelah lulus SD Kebomas, Aam melanjutkan ke SMPN 4 Gresik. Sama seperti sebelumnya, semua sekolah umum menolak kehadiran bocah ini. Baru setelah mengetahui nilai dan kecerdasannya, dia bisa diterima. Saat ini, Aam duduk di bangku kelas dua SMA dan akan terus melanjutkan hingga pendidikan tinggi. Selamat berjuang Aam.

Minggu, 27 Februari 2011

Vincent Alvin Leonardo, who entered MURI thanks to Blue Atom Antivirus


Jawapos, Senin 21 Februari 2011
Vincentius Alvin Leonardo, Pelajar yang masuk MURI berkat Blue Atom Antivirus
Perbaikan Lima Ratus Kali, Pengakses dari 103 Negara

Blue Atom menjadi salah satu antivirus terbaik karena gampang diunduh dan mampu menganalisis potensi virus. Alvin memulainya sejak SMP tanpa bimbingan siapa pun.

Semua berawal dari coba-coba. Gara-gara komputernya tertular virus dari computer teman yang telah merusakkan laptop, flasdisk, file gamr dan tugas-tugas sekolah, Vincentius Alvin Leonardo pun tergelitik untuk menelisik. DIa masih duduk di kelas VII SMP kala itu, Tetapi, dengan gairah meneliti bak periset kawakan, dia menggali berbagai sumber informasi tentang virus.

Sejumlah buku yang membahas virus dilahapnya. Dia juga berselancar di dunia maya tentang “mahluk” berbahaya tersebut. Perlahan, pengetahuannya bertambah. “Semua sendiri, otodidak, karena nggak ada yang ngajarin juga”, terangnya

Dari kegigihannya tersebut, lahir Blue Atom Antivirus. Karya itulah yang mengantarkan Alvin yang kini duduk di kelas X SMA Katolik Stella Maris ke penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI). Sebuah prestasi hebat untuk seorang bocah belia yang umurnya baru 15 tahun.

Orang Tua Alvin bukanlah orang ahli di bidang pemrograman computer. Mamanya, Muliani Tedjakusuma adalah seorang oengajar di IKADO. Papanya, Surya Mutiara, seorang elektronik desainer. “Jadi ya belajar, cari info,” katanya

Program pertama yang dibuatnya sesuai dengan hobinya, yaitu game. Lantas, dia menciptakan rumus matematika hingga sebuah program antivirus. “ Iseng-iseng saja” ujarnya

Soal virus, tak hanya satu dua teman Alvin yang mengeluhkan. Mereka tak Cuma khawatir kehilangan data atau arsip. Namun, juga keselamatan computer dan laptop mereka.

Nah, setelah mengenal dan mengetahui beberapa virus, pada pertengahan kelas VII SMP (sekitar 2007), dia mulai mencoba membuat penangkal virus. “ Biar virusnya nggak berkembang lagi, dibersihkan sama sekali,” tambahnya

Menurut dia, setiap laptop, computer ataupun flasdisk yang telah tercemar virus bisa dipastikan memiliki sampel virus. Nah, sampel itu yang dipelajari cara kerjanya, lali dipelajari cara menangkalnya,” ujar pria kelahiran Surabaya tersebut


Penyesuaian serta penyempurnaan demi penyempurnaan terus dilakukan. Mulai yang semula masih sederhana, belum sempurna, terus diperbaiki, hingga di upgrade lagi untuk menghasilkan sebuah antivirus yang baik.

Sejak awal pembuatan ada perbaikan atau ada masalah gitu diperbaiki lagi. Itu sampai lebih dari 500 kali,” jelasnya

Hasilnya, setelah pembuatan dan perbaikan selama tiga tahun, tepatnya saat Alvin kelas IX SMP, dia sukses melaunching antivirusnya ke kancah international. Yakni, pada September 2009

Program antivirus tersebut di launching melalui situs www.softpedia.com. Selanjutnya, setelah melalui pengujian mutu yang dilakukan situs tersebut, pada 1 Oktober 2009 antivirus karya Alvin diakui menjadi salah satu yang terbaik

Awalnya, dia ingin member nama antvirusnya dengan Fire A. Tetapi sudah ada yang memiliki nama itu. Selanjutnya, terciptalah nama Blue Atom Antivirus

Kata Blue terilhami dari gedung sekolahnya di SMP Stella Maris yang dominan biru, Atom merupakan satuan atau benda terkecil di jagat raya. “ Blue Atom memang kapasitasnya kecil. Itu bertujuan agar computer tidak terbebani,” jelasnya

Menurut Alvin, diantara banyak antivirus local maupun internasional yang ada, kapasitas antivirus buatannya yang paling kecil, yakni 5.9 MB. Begitu kecilnya, ia sangat mudah untuk di download

Antivirus international umumnya berukuran 32 MB. Bahkan ada antivirus lainnya yang sampai berukuran 90 MB jika di download,” Kalau di install, ada antivirus lainnya yang menjadi 200MB,” katanya

Ukuran sekecil itu lanjut dia, sengaja dipilih dengan spesifikasi kedetailan menengah. Artinya, tidak menggunakan banyak atribut ke dalam antivirusnya. “ Biasanya, yang bikin tambah berat itu detail spesifikasi tentang jenis antivirusnya dijelaskan, tanggal dibuat, diciptakan dimana, itu dicantumkan. Tetapi kalau Blue Atom tidak pakai itu, jadi lebih ringan,” Jelas laki-laki yang berulangtahun 19 Oktober 1995 itu

Selain ringan, antivirus buatannya memiliki keunggulan lain. DIantaranya, bisa mengambil 330 ribu virus plus mampu menganalisis potensi virus. Antivirus loka lainnya, lanjut dia, hanya mampu mengambil 5ribu virus

Menurut Alvin, Blue Atom bersifat heuristic, yakni mampu menganalisis bahwa sebuah calon virus berpotensi menjadi virus yang lebih berbahaya. “ Ibarat bunga, ini bunga tetapi ada durinya atau nggak itu yang dianalisis,” tambahnya

Kini, Blue Atom Antivirus telah di share secara luas di web. Karena itu, siapa pun bisa men download dengan gratis di www.atom-core.com. Menurut statistic di webnya, Blue Atom Antivirus telah dikunjungi pengakses dari 103 negara, mulai 1 Desember hingga 31 Desember 2010. Yang paling banyak berasal dari India, Inggris dan tentu saja Indonesia. “ Maunya saling bantu, jadi bukan untuk komersial,” tambahnya

Kini, setelah antivirusnya dimanfaatkan banyak orang, tangan Alvin tergelitik untuk membuat OS (operating system / system operasi) Windows. “ Sudah proses membuat, tetapi belum selesai, tanpa mencuri kode OS aslinya,” katanya

Itu terilhami dari OS Windows yang masih merajai pasaran. “ Harganya naik, pakainya harus yang orisinal, produk mindednya Microsoft. Jadi, kami coba cari upaya yang lain,” katanya

Untuk itu, dia menjalin kerjasama dengan programmer Internasional sejak Januari 2011. Melalui interaksi via email, Alvin memodifikasi Mike OS. “ Sudah dapat izin untuk mengotak atik OS nya. Karena sifatnya open source atau kode terbuka, jadi bisa ngambil, terus diutak atik,” jelasnya

OS yang dimodifikasi Alvin diberi nama Atom Core OS. “ Sudah bisa dipakai, tetapi belum sempurna. Belum bisa direkomendasikan untuk dipakai sehari-hari,” katanya, Nanti hasil OSnya diharapkan merupakan penggabungan antara Windows dan Linux. “ Sekarang kan masih berdiri sendiri-sendiri. Fasilitas yang ada di Linux nggak ada di Windows, ada di Windows tetapi nggak ada di Linux. Jadi, nanti inginnya bisa mengkombinasikan keduanya,” tegasnya

Selasa, 04 Januari 2011

Siti Fatimah, Orphan Silver Medal Winner at APAO - Every Day Walk 2.5 km

Choose
Indonesia Langguange - English Langguage

Jawapos, Sampang Wednesday, January 5, 2011
Siti Fatimah, Orphan Silver Medal Winner at APAO
Every Day Walk 2.5 km


Since sitting in elementary school (SD), Siti Fatimah 16, has been orphaned. However, it did not hinder her achievement. He won a silver medal in the Asian Pacific Astronomy Olympiad (APAO) held in Tolikara, Papua
Feri Ferdiansyah, Sampang

Astronomy is not new to science student XI SMAN 1 Sampang Siti Fatimah. The girl who won Olympic silver in the Asia Pacific level astronomy was already familiar with the science is far before entering school.

Siti Fatimah told this newspaper said that recognize astronomy since childhood. The first time, she introduced science by her late father, Moh. Jatim.

"When small, at home there are books cosmographies. I am pleased to see the pictures. Because not familiar with the book, my father used to tell about a star to me, "recalls Siti Fatimah is usually called Fatim

Apparently, childhood experience crystallizes in Fatim that after the death of his father, Fatim living with her mother, Murini, 46 and her sister, Siti Aisyah. When she chance to go on RSBI SMAN 1 Sampang, his love of astronomy is still entrenched. She also studied his interest was.

"From small Fatim does have a good comprehension. Before her father died in 2005, her father often told to her astronomy. Apparently it made an impression up to now “said Murini, which yesterday (4 / 1) found this newspaper in Jalan Keramat.

Murini said, after the death of her father, Fatim grow into independent and firm stance. When the school at SMPN1 Sampang, every day she must walk from his home in the village of Pangong-sean, District Torjun

"Before her father’s death, the her father was intestate for learning Fatim cottage. But, when it Fatim select a school in junior high. For three years she'd be willing to walk 2.5 miles to desire it, "said Murini, who sits on the right Fatim

Murini also said that since junior high, Fatim aspire to enter RSBI SMAN 1 Sampang. However, Murini cannot promise. Because, she only able to collect Rp 30,000 per day from selling the fish around. That is, if cash payment from customers.

Fortunately, Fatim have good academic ability. She was able to compete in an arena quest seeds for RSBI SMAN 1 Sampang. In 2009, Fatim follow Event Creation Science and English (AKSI), which was held at SMAN 1 Sampang with prize scholarship for a year. Fatim who then managed to get a class IX junior champion II

"So far the cost in SMAN 1 Sampang free. Because, I get a scholarship after the second winner in AKSI before I go to SMAN 1 Sampang, "said Fatim in a meeting yesterday

Luck is still siding with the Fatim. Beginning in 2010, Sampang District Education Office held a selection process to follow APAO. She managed to escape and eventually could bring a silver medal.

Jawapos, Sampang Rabu 5 Januari 2011
SITI FATIMAH, Anak Yatim Peraih Medali Perak di APAO
Tiap Hari Jalan Kaki 2.5 Km


Sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD), Siti Fatimah 16, sudah yatim. Namun, itu tak menghalangi dia berprestasi. DIa berhasil meraih medali perak dalam Asia Pacific Astronomy Olympiad (APAO) yang diselenggarakan di Tolikara, Papua
Feri Ferdiansyah, Sampang
http://www.jpnn.com/

Astronomi bukan hal baru bagi siswi kelas XI IPA 7 SMAN 1 Sampang Siti Fatimah. Gadis yang berhasil meraih perak dalam olimpiade astronomi tingkat Asia Pasifik itu sudah mengenal ilmu tersebut jauh sebelum masuk sekolah.

Siti Fatimah kepada Koran ini mengatakan mengenal ilmu perbintangan sejak masih kecil. Kali pertama, dia dikenalkan ilmu itu oleh ayahnya, Moh. Jatim, yang kini menghadap Sang Khalik.

“Saat kecil, di rumah ada buku ilmu falak. Saya senang melihat gambar-gambarnya. Karena tidak paham dengan buku itu, ayah biasa menceritakan tentang bintang kepada saya,” kenang Siti Fatimah yang biasa disapa Fatim tersebut

Rupanya, pengalaman saat kecil itu mengkristal dalam diri Fatim yang sepeninggal ayahnya hidup bersama ibunya, Murini, 46 dan adik semata wayangnya, Siti Aisyah. Ketika dia berkesempatan masuk di RSBI SMAN 1 Sampang, kecintaannya terhadap astronomi masih terpatri. Dia pun mendalami minatnya itu.

“Dari kecil Fatim memang memiliki daya tangkap yang bagus. Sebelum meninggal pada 2005, ayahnya sering menceritakan ilmu perbintangan kepada dia. Ternyata itu membekas hingga sekarang” terang Murini, yang kemarin (4/1) ditemui Koran ini di Jalan Keramat.

Murini mengatakan, sepeninggal ayahnya, Fatim tumbuh menjadi anak mandiri dan teguh pendirian. Saat sekolah di SMPN 1 Sampang, setiap hari dia harus berjalan kaki dari rumahnya di Desa Pangong-sean, Kecamatan Torjun

“Sebelum ayahnya wafat, almarhum pernah berwasiat agar Fatim belajar pondok. Tapi, saat itu Fatim memilih sekolah di SMP. Selama tiga tahun dia rela berjalan 2.5 kilometer demi keinginannya itu,” tutur Murini, yang duduk di kanan Fatim

Murini juga mengatakan, sejak SMP Fatim bercita-cita bisa masuk RSBI SMAN 1 Sampang. Namun, saat itu Murini tidak bisa menjanjikan. Sebab, selama ini dia hanya mampu mengumpulkan uang Rp 30.000 per hari dari hasil menjual ikan keliling. Itu pun jika dagangannya tidak diutangi pelanggan.

Untungnya, Fatim memiliki kemampuan akademis yang cukup baik. Dia mampu bersaing dalam sebuah ajang pencarian bibit unggul untuk RSBI SMAN 1 Sampang. Pada 2009, Fatim mengikuti Ajang Kreasi Sains dan Bahasa Inggris (AKSI) yang digelar di SMAN 1 Sampang dengan hadiah beasiswa selama setahun. Fatim yang saat itu kelas IX SMP berhasil mendapat juara II

“Selama ini biaya di SMAN 1 Sampang gratis. Sebab, saya mendapatkan beasiswa setelah juara II dalam AKSI sebelum saya masuk ke SMAN 1 Sampang,” tutur Fatim dalam pertemuan kemarin

Keberuntungan masih berpihak kepada Fatim. Awal 2010, Dinas Pendidikan Kabupaten Sampang menggelar seleksi untuk mengikuti APAO. Dia berhasil lolos dan akhirnya bisa membawa medali perak.

Sabtu, 01 Januari 2011

Riana Helmi Record Muri As Youngest Doctor

Choose

JawaPos, Yogyakarta, Friday, December 31, 2010
Riana Helmi Record Muri As Youngest Doctor
Suppose to Go to School like Playground


Academic achievement continues carved Riana Helmi. Girl from Banda Aceh was once listed as the youngest medical graduate in Indonesia at the age of 17 years 9 months. Yesterday (12/30/2010) Riana back incised Muri record as the youngest doctor to the age of 19 years and 9 months.
Heru Setiyaka - Lutfi R
Achievements Riana Helmi is not only the youngest doctor. At graduation on May 19, 2010, she won grade point average (GPA) of 3.67. The period of his lecture was also only three years and six months. Women born in Banda Aceh was signed in the Faculty of Medicine (FK), Gadjah Mada University, Yogyakarta, through the PBS program (self-financing talent search) at the age of 14 years on 1 September 2005. She graduated with a degree in medicine on February 25, 2009.

"I am pleased and relieved. Thank God, "said Riana when getting an award from the World Indonesian Record Museum (Muri) of their achievement yesterday.

Happiness radiates from Riana's face when she and 141 of the FK UGM sworn in as the new doctor in the third period of the academic year 2010-2011 at Graha Sabha Pramana (GSP) UGM yesterday. They appointed Dean of the Faculty of Medicine Gadjah Mada University Prof. Dr. Mukti Ali Ghufron MSc PhD. They consisted of 46 male physicians and 96 female doctors, including Riana.

How is the lecture Riana? She said he did not have much trouble during studying at FK UGM. Tasks that are severe enough she did cheerfully. "Difficulties still exist. But, all can be overcome. In faculty, the task always plenty, “said Riana.
First graduation time, Riana also says it wants to continue his education. "After this, I want to keep learning more," said the doctor who graduated with a thesis about breast cancer. "I want to make dreams come true as an obstetrician," added the girl was born March 22, 1991.

According to Helmi, Riana's father, his son really liked it since childhood learning. He was very enthusiastic about going to school each. For Riana, she added, going to school is like going to the park to play. When her father escorted by motorcycles, small Riana always not wait to get down and ran to school. "she really enjoys every process of learning," said Police Officer School educators in Lido, Sukabumi, West Java, the. "Oh yes, Riana always come a bit earlier than her friends," he added.

Riana entered primary school at the age of four years. Helmut and his wife never forced his son to school early. However, it seems since Riana intelligence was three years old. "In the age that much, she could read. Although it's late, he always asked was taught to read, "said Helmi, looking at Riana.

Helmi added, after graduating from elementary school, Riana completing SMP and SMA Negeri 3 Sukabumi with the acceleration program.

He revealed, since childhood Riana do not like playing dolls. For the child, the doll is a horrible figure. Therefore, when his age was busy playing dolls, Riana was more like learning to read. "she’s scared to play dolls. See doll could scream. Thus, her study continues, "said Helmi, then laughed.

Is Riana will experience difficulty as a doctor because she was still very young? Ali said that while young, She has been psychologically and socially mature. Therefore, he believed that Riana will not experience difficulty when plunged in the field later.

"We hope that all doctors are sworn in as the practice and the plunge in the community can work with emphasis on the principles of safety and efficiency. Because, so far, in the practice of medicine are still many cases of medical errors that harm society and tarnished the image of doctors, "he explained.

In the face of new doctors, Ali hopes that they seriously implement the internship program. Namely, the internship year in health centers and hospital type C and D. The goal, align educational outcomes with practice in the community.

Chairman of the Indonesian Doctors Association (IDI) DIJ Dr Bambang Suryono Suwondo Span KIC KNA hope, the new doctors are also able to develop herbal therapies such as those set Permenkes 1109/2007.

"Herbs can assist farmaka or replace farmaka. Herbs also proved to have many benefits or efficacy through clinical trials, "said Bambang.

Until yesterday, FK UGM has graduated 7204 physicians. About 83 of the 142 new doctors are sworn in yesterday graduated with cum laude bearing. Agus Simahendra won best graduates with a GPA of 3.97. Meanwhile, the oldest physician on the inauguration this time named Hanani binti Mohd Noor. Hilmin from Malaysia at the age of 25 years 10 months .***


Jawapos, Jogyakarta, Jumat 31 Desember 2010
Riana Helmi Catat Rekor Muri Sebagai Dokter Termuda
Anggap ke Sekolah seperti Pergi ke Taman Bermain



Prestasi Akademis terus diukir Riana Helmi. Gadis asal Banda Aceh itu pernah tercatat sebagai sarjana kedokteran termuda di Indonesia dalam usia 17 tahun 9 bulan. Kemarin (30.12.2010) Riana kembali menorehkan rekor Muri sebagai dokter termuda dengan usia 19 tahun 9 bulan.
Heru Setiyaka – Lutfi R

Prestasi Riana Helmi bukan hanya dokter termuda. Saat diwisuda pada 19 Mei 2010, dia meraih indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,67. Masa kuliahnya juga hanya tiga tahun enam bulan. Perempuan kelahiran Banda Aceh tersebut masuk Fakultas Kedokteran (FK) UGM, Jogjakarta, melalui program PBS (penelusuran bakat swadana) saat berusia 14 tahun pada 1 September 2005. Dia lulus sebagai sarjana kedokteran pada 25 Februari 2009.

”Saya senang dan lega. Alhamdulillah,” ucap Riana ketika mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) atas prestasi tersebut kemarin.

Kebahagiaan terpancar dari wajah Riana ketika dirinya bersama 141 orang dari FK UGM dilantik sebagai dokter baru pada periode ketiga tahun ajaran 2010-2011 di Grha Sabha Pramana (GSP) UGM kemarin. Mereka dilantik Dekan FK UGM Prof dr Ali Ghufron Mukti MSc PhD. Mereka terdiri atas 46 dokter laki-laki dan 96 dokter perempuan, termasuk Riana.

Bagaimana proses perkuliahan Riana? Dia mengaku tidak menemui banyak kesulitan selama menempuh studi di FK UGM. Tugas-tugas yang cukup berat dia kerjakan dengan riang. ”Kesulitan sih ada. Tapi, semua bisa diatasi. Di kedokteran, tugas memang banyak,” kata gadis berjilbab itu.

Waktu wisuda dulu, Riana juga menyatakan ingin terus menuntut ilmu. ”Setelah ini, saya ingin terus belajar lagi,” tutur dokter yang lulus dengan skripsi tentang kanker payudara itu. ”Saya ingin mewujudkan cita-cita sebagai dokter spesialis kandungan,” tambah gadis kelahiran 22 Maret 1991 tersebut.

Menurut penuturan Helmi, ayah Riana, anaknya itu sejak kecil memang suka belajar. Dia sangat antusias setiap hendak berangkat ke sekolah. Bagi Riana, lanjut dia, berangkat ke sekolah diibaratkan pergi ke taman bermain. Saat diantar ayahnya dengan motor, Riana kecil selalu tidak sabar untuk segera turun dan berlari ke sekolah. ”Dia menikmati betul setiap proses belajar,” tutur perwira polisi pendidik di Sekolah Perwira Polri Lido, Sukabumi, Jawa Barat, tersebut. ”Oh ya, Riana selalu datang lebih pagi daripada teman-temannya,” imbuh dia.

Riana masuk SD pada usia empat tahun. Helmi maupun istri tidak pernah memaksa anaknya bersekolah lebih awal. Namun, kecerdasan itu tampak sejak Riana berusia tiga tahun. ”Di usia segitu, dia sudah bisa membaca. Meski sudah malam, dia selalu minta diajari membaca,” tutur Helmi sambil memandang Riana.

Helmi menambahkan, setelah lulus SD, Riana menyelesaikan jenjang SMP dan SMA Negeri 3 Sukabumi dengan program akselerasi.

Dia membeberkan, sejak kecil Riana tidak suka bermain boneka. Bagi si anak, boneka adalah sosok mengerikan. Karena itu, saat anak seusianya sibuk bermain boneka, Riana justru lebih suka belajar membaca. ”Dia takut main boneka. Lihat boneka saja bisa menjerit. Maka, kerjanya belajar terus,” papar Helmi, lantas tertawa.

Apakah Riana akan mengalami kesulitan sebagai dokter karena usianya masih sangat muda? Ali mengatakan, meski belia, Riana telah matang secara psikologis maupun sosial. Karena itu, dia yakin bahwa Riana tidak akan mengalami kesulitan saat terjun di lapangan nanti.

”Kami berharap, seluruh dokter yang dilantik ketika praktik dan terjun di masyarakat bisa bekerja dengan mengutamakan prinsip keselamatan dan efisiensi. Sebab, selama ini, dalam praktik dunia kedokteran masih banyak kasus medical error yang merugikan masyarakat maupun mencoreng citra dokter,” urainya.

Di hadapan dokter baru, Ali berharap bahwa mereka secara serius melaksanakan program internship. Yakni, proses magang setahun di puskesmas maupun rumah sakit tipe C dan D. Tujuannya, menyelaraskan hasil pendidikan dengan praktik di tengah masyarakat.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DIJ Dr Bambang Suryono Suwondo SpAn KIC KNA berharap, para dokter baru juga bisa mengembangkan terapi herbal sebagaimana telah diatur Permenkes 1109/2007.

”Herbal bisa mendampingi farmaka atau mengganti farmaka. Herbal juga terbukti punya banyak manfaat atau khasiat melalui uji klinik,” tegas Bambang.

Hingga kemarin, FK UGM telah meluluskan 7.204 dokter. Sebanyak 83 di antara 142 dokter baru yang dilantik kemarin lulus dengan menyandang predikat cum laude. Lulusan terbaik diraih Agus Simahendra dengan IPK 3,97. Sedangkan dokter tertua pada pelantikan kali ini bernama Noor Hanani binti Mohd. Hilmin asal Malaysia dalam usia 25 tahun 10 bulan.***