Copyrights @ Journal 2014 - Designed By Templateism - SEO Plugin by MyBloggerLab

Minggu, 20 Maret 2011

Muhammad Amanatullah, Smart Students Without Hands with Half Leg

Share
Muhammad Amanatullah,
Siswa Cerdas Tanpa Tangan dengan Separo Kaki
“Saya Tak Ingin dengan Kondisi Ini Tidak Bisa Berbuat Apa-apa”
Minggu, 20 Maret 2011


Suasana gembira yang diekspresikan ratusan siswa dan mahasiswa penerima Basiswa PT Semen Gresik di Hall Grand City Surabaya, Sabtu (19/3), mendadak terhenti. Mereka dikejutkan dengan kehadiran Muhammad Amanatullah, siswa buntung tanpa tangan dengan separo kaki di depan panggung.
Faiq Nuraini - surabaya

Siswa itu terus didorong dengan sepeda roda tiga. Perlahan, laju sepeda mini ini terhenti persis di tengah hadirin. Sorot lampu semakin mengarahkan pandangan para hadirin ini tertuju pada siswa buntung tersebut. Dalam sorotan lampu, Aam, panggilan akrab Amanatullah, malah semakin percaya diri.

Ratusan hadirin termasuk Mendiknas Muhammad Nuh, Direktur Utama PT Semen Gresik Dwi Soetjipto, para rektor dari 10 perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia, dan para pejabat yang hadir, terharu melihat pemandangan itu.

Bukan tepuk tangan atau teriakan kegembiraan yang muncul saat siswa kelas dua SMA Gresik itu dinyatakan sebagai penerima Beasiswa S1 Semen Gresik. Melainkan rasa haru dan tetesan air mata melihat kondisi Aam yang terus duduk di atas sepeda mini.

Siswa ini hanya bisa bergerak dengan tetap berada di atas sepeda mini buatan ayahnya sendiri. Satu kaki kanannya dijejakkan perlahan agar tubuh tanpa tangan itu bisa maju atau mundur.

“Nama saya Amanatullah. Saya sejak kelas lima SD sudah tidak lagi sekolah di SLB,” ucapnya sambil terus tersenyum.

Aam bercerita, dirinya buntung sejak lahir. Namun berkat perjuangan tak kenal lelah dan terus berusaha, siswa ini memiliki kecerdasan akademis seperti halnya siswa normal.

“Karena saya tak punya tangan, saya menulis dengan kaki. Saya juga bisa melukis dan menjuarai lomba lukis tingkat daerah. Padahal peserta lomba lukis adalah orang normal. Alhamdulillah, karena ini pula saya diundang Pak Kapolri untuk melukis,” kata Aam yang jago melukis apa saja ini.

Dalam situasi itu, semua hadirin hanya bisa terdiam dan terpaku. Beberapa di antara mereka meneteskan air mata. “Meski terlahir dengan keterbatasannya, sebenarnya inilah kelebihan Aam. Dengan tanpa tangan begini, prestasi bisa melebihi siswa normal. Dua tahun duduk di bangku SMA umum masuk 10 besar,” urai Jaiyaroh, guru yang sejak SD mendampingi Aam.

M Nuh yang lebih dari 15 menit duduk kaku karena haru langsung berdiri, berdialog dengan Aam. Mantan rektor ITS ini pun dengan hangat dan penuh perhatian menanyakan cita-cita Aam. “Cita-cita kamu ingin jadi apa nanti,” tanya Mendiknas.

Mendengar pertanyaan ini, Aam yang lahir, 4 Mei 1993 itu menjawab, “Saya ingin sekolah tinggi dan menjadi ahli desain. Saya ingin punya komputer yang canggih untuk mewujudkan impian ini,” ucapnya mantap.

Jawaban ini belum juga mengembalikan suasana Hall Grand City menjadi seperti semula. Sebaliknya, keharuan masih mendominasi. Apalagi M Nuh langsung memahami keinginan Aam. “Silakan nanti teman-teman saya yang akan memproses komputer itu. Dicatat alamat lengkapnya yang benar. Kita akan perhatikan,” kata Nuh.

Baru setelah jawaban inilah, suasana gembira dan penuh tawa pecah kembali. Ratusan teman-teman mereka bisa bertepuk tangan panjang.

Oleh PT Semen Gresik, Aam akan dibiayai pendidikannya hingga kuliah. Dia juga dimasukkan ke sanggar lukis.

Saat ditemui Surya usai penyerahan beasiswa tersebut, Aam memang tampak sosok pekerja keras. Meski harus menyeret satu kaki kanannya dan membiarkan kaki separonya menggantung di atas sepeda mini, tidak tampak kelelahan dalam diri Aam. Peluh yang mulai menetes sama sekali tak dihiraukan.

“Beginilah Mas. Saya sudah sejak kecil memang seperti ini. Tetapi saya tidak ingin dengan kondisi ini saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya yakin, ini yang terbaik buat saya dan keluarga,” tandas Aan yang kali ini ditemani ibunya.

Siswa asal Jl Kartini Gang 16 nomor 21 ini memang kurang beruntung. Anak keenam dari enam bersaudara pasangan Aliantoro dan Nasifah ini tidak seperti kakak-kakaknya. “Hanya Aam yang terlahir cacat. Kakaknya semua normal. Kami tetap tulus dan sabar mengasuhnya,” ucap Nafisah.

Namun keluarga ini seakan dipaksa menjalani ujian yang di luar kemampuannya. Aliantoro hanya menggantungkan pekerjaannya sebagai sopir panggilan. Nasifah sendiri hanya ibu rumah tangga. Sementara mereka harus membesarkan enam anaknya.

Saat usia sekolah, orangtua nya sempat bingung bagaimana harus menyekolahkan sang anak. Akhirnya, Aam pun masuk SDLB Kemala Bhayangkari Gresik.

Di sinilah Siti Jaiyaroh dengan tekun membimbingnya hingga nyaris seperti normal. Dia bisa menulis dengan rapi. Aam pun pindah ke SD normal saat kelas lima.

“Tetapi kalau sekolah harus membawa meja kursi sendiri. Meja kursi ini didesain sejajar antara kursi dan meja. Sebab, Aam nulisnya dengan kaki,” jelas Jaiyaroh.

Tulisan Aam bahkan tampak lebih rapi dan terstruktur dengan baik. Untuk membuktikan kemampuan menulis inilah, dia rela turun dari sepeda mininya. Berjalan sepergi ngesot ke lantai, Aam pun meraih bolpoin dan menulisnya namanya sendiri di note book Surya. Bagus, tulisannya sangat bagus.

Setelah lulus SD Kebomas, Aam melanjutkan ke SMPN 4 Gresik. Sama seperti sebelumnya, semua sekolah umum menolak kehadiran bocah ini. Baru setelah mengetahui nilai dan kecerdasannya, dia bisa diterima. Saat ini, Aam duduk di bangku kelas dua SMA dan akan terus melanjutkan hingga pendidikan tinggi. Selamat berjuang Aam.

1 komentar: